
“Pukul lima subuh, saya dan teman-teman mahasiswa sudah berada di gedung DPR,” kata Saptono mengenang peristiwa tepat lima tahun silam. Seperti para mahasiswa yang menduduki Gedung DPR, Saptono, seorang fotografer kantor berita Antara, mencium aroma tegang yang meliputi Ibu kota : Jakarta semakin panas, demonstrasi merebak meluas, tapi Soeharto tetap bertahan di kursinya.
Setiap hari Saptono dan kawan-kawan mahasiswanya berharap dan kecewa. Mereka mendengar selentingan SOeharto akan mundur. Tapi, ketika hari mulai gelap, terbuktilah : itu Cuma rumor. Namun, inilah 21 Mei 1998. Di Gedung DPR ia melihat rekan-rekan sekantornya yang ditugasi di sana. Rumor beredar tentang rencana lengser, tapi keraguan yang biasa muncul terasa tipis. “Insting kami percaya bahwa berita itu benar,” kata Saptono.Pukul 9 lewat 45 menit, segenap kegiatan di Gedung DPR seakan terhenti. Mata para mahasiswa, atau siapa pun yang berada di sana, tak lepas dari pesawat televise. Soeharto akhirnya berbicara. Saptono ingat betul momen dramatis itu. Suasana tegang dan senyap mendadak riuh-rendah. Soeharto meletakan jabatan, dan mahasiswa berteriak seraya mengacungkan tangannya, “Hidup Mahasiswa”.
Ada yang berlalrian, ada yang nyemplung sekalian mandi di kolam berair mancur di komplek wakil rakyat itu. Tapi selintas mata Saptono menangkap satu adegan istimewa : para mahasiswa terharu dan berpelukan. Klimaktik, mewakili ekspresi para mahasiswa saat Soeharto jatuh. Tangan fotografer yang bergabung dengan Antara sejak 1992 ini cepat bekerja.
“Saya lupa siapa saja mereka dan dari kampus mana,” kata lulusan Fakultas Pertanian UPN Yogyakarta ini. Tapi, “Esoknya saya lihat foto itu terbit di beberapa surat kabar. Saya juga tak menyangka, banyak orang menilai gambar saya sebagai foto yang monumental.” Hari itu ia senag fan larut dalam atmosfer kemenangan. Rasa capek karena kurang istirahat terusir dalam sekejap. Sejarah telah melangkah, dan Saptono seorang individu di sela-sela perubahan besar.
Sosok yang sudah rajin memegang kamera sejak SMA ini masih merasakan klimaks yang terjangkau. Saptono amat akrab dengan para mahasiswa waktu itu. “Setiap ada isu-isu, pasti mereka mengontak saya. Begitu juga saya, kalau ada perkembangan baru pasti menghubungi mereka.”
“Kekuatan mahasiswa saat itu masih murni. Mereka solid banget,” ia mengenang. “Lewat televise, kami memantau perkembangan yang terjadi setiap detiknya. Sebetulnya hubungan saya dengan kelompok mahasiswa sudah terbina sejak beberapa bulan sebelumnya, yaitu ketika demonstrasi menuntut turunnya Soeharto mulai merebak di mana-mana. Saat jatuh korban dari Universitas Trisakti, saya juga sedang meliput disana.”
Hari-hari yang lampau, bernas, dan memuliakan pengorbanan ketimbang ego pribadi dan kelompok itu telah berlalu. Tapi kamera mencoba mengekalkannya dan menawarkan kesaksian : itu pernah (dan bisa) terjadi.
Majalah TEMPO Edisi 19-25 Mei 2003, halaman 132
Saptono, 38 tahun, Antara

Tidak ada komentar:
Posting Komentar