Fenomena mudik, menjadi suatu tradisi yang menandai berakhirnya kegiatan puasa di bulan Ramadhan. Dimana orang yang pergi merantau kembali ke kampong halamannya untuk bersilaturahmi dan berkumpul dengan kerabat merayakan hari raya Idul Fitri. Tidak tahu dari mana sejarah ini bermula, dari studi literature penulis tidak menemukan latar belakang aktifitas sosial yang mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar dan berdampak pada berbagai kehidupan dapat terjadi.
Yang pasti, faktanya setiap tahun akan terjadi dan terulang seperti ini. Yang menariknya lagi adalah fenomena ini hanya terjadi di Negara kita tercinta. Dengan jumlah mobilisasi massa yang besar dan berdampak luas ini sangat menarik untuk di perhatikan. Penulis mencoba untuk melihat dari sudut pandang lain (out of the box) yang biasa beredar di lapangan dari hasil liputan atauberita di stasiun-stasiun TV yang rame-rame live memberitakan fenomena ini. Penulis mencoba untuk melihat dari beberapa sisi kehidupan, yaitu Ekonomi, Politik, Agama, Sosial dan Budaya.
Ekonomi Bubble (Segi Ekonomi)
Para pemudik kebanyakan adalah mereka yang merantau, mencari nafkah atau bekerja di luar kampung halamannya. Sehingga mereka adalah sebagai pendatang di tempat mereka menetap karena ada keterkaitan masalah pekerjaan tersebut. Momen libur hari raya idul fitri mereka gunakan untuk bisa kembali ke kampong halaman untuk bertemu kerabat atau saudaranya. Di tempat merantau, keseharian mereka disibukan dengan bekerja untuk mencari uang. Ada juga di antara mereka yang sengaja mengumpulkan hasil jerih payahnya untuk dibawa pulang ke kampong Halaman. Secara ekonomi kegiatan mudik ini menimbulkan arus pergerakan uang dari kota ke desa. Secara tidak di sengaja para pemudik akan membelanjakan uangnya untuk keperluan idul fitri atau hanya sekedar untuk kepuasan pribadi seperti Zakat, Infak dan shadaqah, yang mereka bagikan di kampung Halamannya. Pergerakan uang ketika hari raya idul fitri ini sangatlah besar. Secara matematis kita ketahui bahwa tahun ini saja, jumlah pemudik sekitar 28 juta orang, kalau setiap pemudik rata-rata membawa uang sekitar Rp 1 juta untuk mereka belanjakan di kampungnya maka uang yang bergerak dari kota ke kampung sekitar Rp. 28 Trilyun. Tentunya ini sangat fantastis tapi itu hanya itungan matematik, yang faktanya bisa lebih besar karena ada faktor-faktor lain seperti ada pemudik yang membawa kendaraan pribadi tentunya ada pengeluaran lain atau mungkin pemudik yang sudah mapan secara ekonomi. Tetapi bisa juga lebih kecil dari angka yang tadi disuguhkan. Bukan hanya itu akan terjadi transaksi ekonomi yang terjadi sebelum dan sesudah hari lebaran, terutama bagi mereka yang membeli kendaraan baru atau untuk kebutuhan mudik.
Tentunya ini harus menjadi perhatian pemerintah baik di pusat dan daerah, agar dana yang besar ini bisa menjadikan sebuah kekuatan yang besar untuk kemajuan bangsa. Kembali lagi jangan sampai ini hanya jadi uap saja habis untuk kegiatan yang konsumtif saja.
Politik Mercu Suar (Politik)
Fenomena mudik juga senantiasa berdampak politis, dimana tingkat keberhasilan pemerintahan akan dilihat dari tertib dan lancarnya kegiatan mudik ini. Akan muncul para pengamat ataupun tokoh-tokoh politik yang membahas fenomena mudik ini. Banyak yang mempertanyakan kinerja dari beberapa departemen atau pemerintah dalam mengatasi kegiatan mudik, mulai dari persiapan transportasi, kondisi jalan, sampai harga tiket yang di permainkan. Tidak luput dari pengamatan mereka mengenai keselamatan para pemudik, kalau masih banyak korban dalam kegiatan mudik ini maka telunjuknya akan menuding bahwa pemerintah sudah gagal.
Bagi pemerintah sendiri momen mudik di manfaatkan untuk menaikan kepercayaan dan pelayanan kepada masyarakat. Seolah-olah mereka mempersiapkan mudik dengan baik, rapat koordinasi meteri di laksanakan secara intensif, laporan seluruh departemen terkait aman dan terkendali. Persiapan hari raya di perhatikan mulai dari sembako, bahan bakar, BBM sampai penentuan hari raya itu sendiri. Meskipun kebutuhan BBM sangat membludak dan hilang, armada pada libur serta kecelakaan lalu lintas berjatuhan yang mengakibatkan korban tewas yang tidak sedikit (Tempo : angka kecelakaan naik 9 %, 1.544 kecelakaan, jumlah korban 4.018, meninggal 576 jiwa). Hal ini terus terulang tiap tahunnya.
Sebelum hari raya, rapat koordinasi departemen dilaksanakan untuk menunjukan kesiagapan pemerintah dalam menghadapi kegiatan mudik, semua departemen terkait melaporkan dengan data yang logis disajikan dengan menarik bahwa semuanya siap, aman dan terkendali, kalau ada fakta lain itu masalah lain. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa mereka siap dan memperhatikan para pemudik ini. Kalau perlu HP para menteri jangan di matikan selama libur hari raya. Dibantu dengan media massa yang melaporkan kegiatan mudik tiap jam, sehingga menenggelamkan berita lainnya. Politik memang menyebalkan…
Islam KTP (Agama)
Pemudik yang tentunya ingin merayakan hari raya idul fitri di kampung halamannya, bagi mereka ini kesempatan untuk ketemu saudara, sahabat dan handai taulan. Saatnya untuk memperlihatkan keberhasilan mereka mencari uang di kota, menunjukan kekayaannya. Shalat idul fitri dijadikan momen untuk pamer mulai dari baju baru sampai perhiasan baru. Sebelum pulang para pemudik rela ngantri untuk menukarkan uang pecahan supaya dapat nyawer dan membagi uangnya. Kalau perlu mereka pinjam mobil (rental) agar kelihatan lebih berkelas. Sangat dipaksakan dan tidak berfaedah terhadap Islam atau ummat pada umumnya. Hanya ingin menunjukan Inilah saya raja minyak baru.
Ditengah perjalanan mudik kebanyakan mereka yang berangkat siang tidak pada puasa karena ada dalih capek mengendari kendaraan dan boleh batal karena di perjalanan (untuk hal ini mereka percaya fikih dan syariat, mungkin karena menguntungkan hawa nafsunya). Semunya mereka anggap ini sebuah alasan untuk tidak puasa. Mereka lupa bahwa Rasullullah saw juga pernah berperang di tengah gurun pasir yang gersang padahal sedang puasa ramadhan. Perang saja tidak dapat dijadikan halangan untuk batal puasa. Atau mungkin kebanyakan dari pemudik ini memang tidak pada puasa, aneh memang yang wajib bisa gugur dengan kegiatan yang sunnah saja tidak. Islam yang sudah kehilangan ruhnya, tidak bisa membedakan mana yang wajib dengan yang bukan, Islam telah menjadi hiasan di KTP mereka.
Silaturahmi Semu (Sosial)
Pergerakan arus pemudik terus terjadi sebelum dan setelah hari raya. Hal menarik yang ditemukan oleh penulis adalah pemudik yang sudah menikah, sering menemukan kendala dimana mereka akan merayakan hari raya. Ketika harus ditempat suaminya atau isterinya, pasangannya kadang keberatan apalgi bila sampai berlama-lama di tempat pasangannya. Meskipun mereka sepakat tapi kadang setelah hari raya mereka harus buru-buru berangkat ke tempat pasangannya. Kalau tidak akan selalu jadi masalah, baik dari sisi pasangan tersebut ataupun dari pihak kelurganya. Sehingga niat silaturahmi awal jadi tidak optimal dan sesuai dengan maksud dari silaturahmi itu sendiri. Semuanya dilaksanakan hanya berdasarkan kesepakatan dan menggugurkan sebuah tradisi saja.
Tidak lupa menggelar acara reuni dan halal bi halal antara kerabat maupun alumni sebuah perkumpulan atau sekolah, yang tentunya dilaksanakan untuk silaturahim dan melepaskan kerinduan setelah lama tidak bertemu. Kita semua mengetahui kadang reunion menjadi hal yang mencolok ketika di jadikan ajang untuk saling memamerkan hal yang bersifat materialism, dilakukan di hotel atau ruang pertemuan yang tentunya mengeluarkan dana yang tidak kecil.
Racun Kota (Budaya)
Pemudik yang notabene adalah perantau di kota tempat dia mencari nafkah datang ke kampong dengan membawa atribut mereka yang katanya sebuah kesuksesan mereka di kota. Kesuksesan yang mereka dapatkan dipandang hanya terbatas pada urusan meterialis (kasat mata), mungkin kendaraan, harta, gaya hidup, atau hanya potongan gaya rambut terakhirnya.
Cara pandang melihat sebuah kesuksesan yang materilistis di bawa ke kampung. Mereka akan di anggap sukses apabila mereka pulang mudik dengan membawa harta dan perubahan gaya hidup seperti layaknya orang kota.
Gaya hidup permisif dan hedonism orang kota dibawa dari kota ke desa. Mereka tidak malu mempertontonkan sebuah kemunduran secara etika dan moral di kampung halaman, tidak malu-malu dan tidak merasa berdosa. Seks bebas, minuma keras, obat-obatan, narkoba dan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat di daerah dengan gaya hidup yang hedonisme mengarah pada sekuler dan liberal.
Tulisan ini dibuat sederhana dan ringan agar enak dibaca mudah dipahami oleh berbagai pihak anggota forum FB yang beragam tingkat pengetahuan dan mudah dikritik segala kekurangan yang ada.
Tentunya semua itu sebagai sudut pandang lain yang terekam oleh penulis. Naluri penulis ingin mengungkapkan bahwa ada sisi lain yang perlu diperhatikan dari fenomena mudik ini. Hal-hal positif memang tidak di munculkan karena itu semua sudah menjadi hal yang baik dan berfaedah. Hanya bagaimana ini bisa di manfaatkan dan dibesarkan agar manfaat yang ada tidak di kalahkan dan di hancurkan oleh yang bersifat negative dan mubajir. Alhamdilillah kita semuanya bisa menjalankan Ibadah shaum dengan lancer, bersilaturahim dengan sanak kerabat serta menjalankan zakat dengan baik. Semoga ibadah kita di terima-Nya…
Berisi Curahan Hati, Pemikiran Gagasan, ide-ide gila...semuanya di persembahkan buat-Mu dan kejayaan Bangsaku tercinta...Salam Hangat,
Rabu, 30 September 2009
Langganan:
Komentar (Atom)
- on Facebook -
Abu Ghibral Wiradinata
ayahku...
